Ngaturaken ►►Namo Buddhaya Selamat Datang Welcome Sugeng Rawuh di Blog Sederhana ini_/|\_Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta

31 October 2008

Menuju Sinar Tercecer

Kunikmati langkah kakiku yang terasa mulai berat, setelah hampir dua jam mengelilingi pertokoan Taman Sari Salatiga yang hiruk pikuk. Sebenarnya aku malas hari Minggu harus keluyuran sendirian disaat tubuh sedang tidak fit, ditambah dengan motor yang juga ikut-ikutan ngadat. Tapi apa boleh buat, aku harus segera mendapatkan cartridge baru untuk printerku agar bahan-bahan mata kuliah Abhidhamma itu dapat segera kuprint dan kuserahkan pada Jim ketua kelompokku.
Berjalan kaki melewati jalan Sukowati ini membuatku, mau tak mau, teringat lagi dengan seuntai kenangan yang kini mengharu biru kehidupanku. Betapa tidak, setelah hampir dua tahun jalan ini menjadi saksi kemesraan kita, bercanda di atas motor yang melaju pelan-pelan di senja hari. Kemudian kita duduk di bangku beton di depan gedung DPRD itu sambil membicarakan apa saja, mulai dari dosen pembimbing skripsi yang bawel hingga para wakil rakyat yang duduk nyaman didalam gedung di belakang kita.
Bila hari tlah semakin senja kita akan berada di trotoar alun-alun yang penuh dengan para PKL menjajakan dagangannya yang seringkali menyebabkan penyempitan jalan. Duduk di bangku kayu sambil menikmati Batagor Pancasila kesukaan kita, menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kebersamaan kita. Dan kau ingat, di alun-alun inilah dua tahun yang lalu kau menyatakan rasamu yang kusambut dengan anggukan perlahan.
Langkah kakiku terus melaju, dari alun-alun itu kuambil jalan ke kiri. Kemudian sampailah di depan sebuah gereja yang biasa kau kunjungi. Dari dalam gereja itu terdengar suara puji-pujian dengan senandung nada yang indah. Letuskan nada kalbu dalam irama doa-doa suci. Di gereja itu pula, ayahmu, yang biasa melontarkan bahasa kasih dari atas podium, memutuskan kasih kita dengan semena-mena.
Aku terus malaju ke halte bis di depanku. Duduk menanti, memandangi kendaraan yang berlalu lalang membuat kepalaku terasa pusing, apalagi sejak pagi perutku baru terisi dengan segelas air putih. Untunglah bis yang kutunggu segera datang dan melajulah aku bersamanya. Turun di pasar Ampel, perutku terasa makin perih.
Duduk menikmati Soto Sapi dalam mangkuk kecil di hadapanku tidak dapat mengembalikan kesegaranku. Kau ingat, dua bulan lalu, kita masih duduk disini berdua dan tertawa lepas. Waktu itu aku lupa dengan janjiku untuk mengembalikan buku metode penelitian yang aku pinjam darimu, dan sebagai hukumannya aku harus menghabiskan dua mangkuk soto yang kau pesan. Tanpa belas kasihan, kau tertawa senang melihatku kekenyangan. “Biar kamu sedikit gemuk,” katamu waktu itu. Ah indahnya kenangan itu.
Ojek yang kutumpangi berhenti di depan sebuah rumah mungil artistik dengan tembok bercat hijau dan lantai teraso hitam yang terkesan begitu dingin.
“Darimana,” tanya Bude Tini dengan nada agak cemas. “Makan dulu! Mbok Par masak pecel lele kesukaanmu.”
“Sudah makan kok Bude.”
“Jangan bohong. Lihat tubuhmu yang makin kurus, Nduk. Kamu nggak boleh terus-terusan seperti ini, kamu harus tegar…” Bude Tini sangat sayang padaku. Beliau selalu memperhatikan aku, apalagi setelah Bude Tini tahu bahwa hubunganku dengan Galih sudah berakhir. Sudah tiga tahun ini aku menemani Bude Tini yang sudah menjanda. Lima orang anaknya sudah menikah dan tinggal di kota lain yang berjauhan.
Kubaringkan tubuhku di atas ranjang kau berukir. Kunikmati kesejukan ruangan bercat biru tosca ini. Di dinding ini masih tergantung pigura yang menyematkan gambar kita berdua saat merayakan hari Metta dan tahun baru di daerah Yogyakarta yang diakhiri dengan jalan-jalan ke Parang Tritis. Dalam gambarmu yang tersenyum sambil memelukku dari belakang itu menampakkan guratan rahang kukuhmu yang sangat kusukai. Tapi kini terlihat kehilangan warna cerahnya, suram. Ah, semuanya memang telah jadi suram setelah keputusan itu kau ucapkan didepanku.
Aku hanya bisa membisu menahan tangis yang hendak gugur, saat kau dengan perlahan katakan bahwa kau akan menikah dengan Gita. Lalu apa artinya cincin perak berukir namamu yang kau sematkan di jari manisku ini? Ketika kutanyakan itu, kau hanya bisa tertunduk dan berucap lirih, “Aku terpaksa….” Lalu kau bicara macam-macam, tentang rasa cintamu yang hanya untukku, tentang paksaan orang tuamu untuk menikahi Gita dan banyak lagi. Satu hal yang dapat kusimpulkan dari semua alasan itu, bahwa orang tuamu tidak setuju kau berhubungan dengan gadis yang tidak seagama denganmu.
Yah, satu alasan yang orthodoks. Tapi itulah dunia. Dunia yang kejam, yang selalu saja mencerai-beraikan anak manusia dengan perbedaan-perbedaan. Manusia yang suka mengkotak-kotakkan dirinya dengan perbedaan yang pada akhirnya justru membuat mereka terluka dan menderita. Agama menjadi pembatas manusia yang satu dengan yang lainnya. Saling memandang dengan hina, menganggap diri paling benar dan paling mulia, bahkan ada yang tega membunuh manusia lainnya tanpa belas kasih atas nama agama. Seringkali, manusia hanya memandang dunia dengan selebar rongga dua bola matanya tanpa mengikutsertakan satu mata yang lainnya, mata hati. Padahal, dengan mata hati, warna-warna akan menjadi sama, rasapun akan menjadi sama, hanya kasih sayang sesama. Gereja atau vihara hanyalah jalan-jalan pemujaan menuju Tuhan.
Mengingat semua itu membuatku makin putus asa. Hanya kepedihan, saat kasih terenggut dari kuntumnya. Hanya lara, saat kesunyian menyergap galau hati. Aku tergeletak pasrah, tak berdaya, aku merasa sangat letih, semakin letih… Suasana terasa amat sunyi, benar-benar sunyi, hanya sayup-sayup kudengar suara ketukan, tetapi aku sudah sangat lelah…
Tubuhku terasa ringan dan semakin ringan, lalu aku melayang…terus melayang keluar dari kegelapan, menuju satu lorong panjang yang tak kulihat ujungnya. Aku terus melayang menuju satu cahaya samar di depan sana, tanganku menggapai…kosong, tak ada apapun yang dapat kupegang. Kusentuh tubuhku…tak berasa, tubuhku kosong, hampa, tidak ada apa-apa. Tiba-tiba, kulihat sesosok tubuh di depan sana, agak samar, tapi berhasil kukenali..benarkah itu ayah..., ya itu adalah ayahku. Lama sekali aku tidak bertemu dengan ayah…aku rindu ayah.
Ayah tersenyum, begitu damai senyumnya, teduh pandangan matanya. Ia melambaikan tangannya, ia hendak memelukku. Tapi, sayup-sayup aku mendengar suara ibu memanggilku. Ibu? Dimana ibu…Oh ibu di belakangku. Ibu memanggilku? Tapi aku ingin ikut ayah Bu, aku rindu ayah, Bu. Apa? Aku tidak boleh ke sana? Kenapa Bu? Aku mau ikut ayah, Bu!
“Arum! Arum!” Suara itu semakin jelas, suara ibu. Kurasakan sentuhan lembut di pipiku. Aku ingin membuka mata, tetapi kenapa berat sekali.
“Arum…, bangun sayang!” Suara itu lagi. Dan, samar-samar sinar menerobos mataku yang gelap. Semakin jelas…putih, terang, dan nampak bayangan-bayangan tubuh mengelilingiku.
“Ibu…” suaraku lemah
“Iya Nduk, ini Ibu.”
“Kenapa Ibu menangis?”
“Tidak Sayang. Ibu senang kamu sudah sadar.”
“Sadar? Memangnya aku kenapa Bu?” Kulihat sekelilingku terasa asing.
“Kamu di rumah sakit Nduk.” Suara Bude Tini menjawab kebingunganku. “Kamu pingsan sejak tadi sore. Bude membawamu kesini dan menelpon ibumu.”
“Sudah sadar Dik Arum?” Suara dokter Een yang lembut menyentuh telingaku.
“Saya nggak sakit kok Dok.”
“Iya. Kamu nggak sakit Dik. Besok juga sudah boleh pulang, asal kamu janji untuk banyak istirahat, makan teratur dan nggak boleh mikir yang berat-berat.”
Ya, aku tidak sakit. Aku tidak boleh sakit hanya karena Galih meninggalkanku. Kalau aku sakit, siapa yang akan menyiapkan bahan seminar Abhidhamma minggu depan, siapa yang mengajar anak-anak sekolah minggu di cetiya kecil itu, siapa yang akan mengajar tari di sanggar untuk persiapan Waisak… Masih banyak hal yang dapat kulakukan daripada sekedar meratapi sebuah lara hati. Aku punya begitu banyak cinta dari Ibu, Bude Tini dan saudara-saudara yang lain yang lebih patut aku pikirkan kebahagiaan dan kesenangannya. Terima kasih atas cinta, cinta yang sesungguhnya, yang jauh lebih berharga dan mulia.

No comments:

Popular Posts