Ngaturaken ►►Namo Buddhaya Selamat Datang Welcome Sugeng Rawuh di Blog Sederhana ini_/|\_Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta

12 November 2010

Pluralisme, Inklusivisme, Toleransi, dan Tujuan Hidup


Kompetensi Dasar   1.2 Pluralisme, Inklusivisme, Toleransi dan Tujuan Hidup Menurut Agam Buddha  Pengertian dan Ciri Khas Agama Buddha
Indikator:                   :
·               Mendefinisikan pengertian pluralisme
·               Mendefinisikan pengertian inklusivisme
·               Mendefinisikan pengertian toleransi
·               Membedakan antara pluralisme dengan inklusivisme
·               Menjelaskan tujuan hidup menurut agama  Buddha
·               Menjelaskan manfaat hidup bertoleransi
·               Menyebutkan contoh-contoh toleransi


Pluralisme, Inklusivisme dan Toleransi
Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka di mana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.
Pluralisme adalah dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi.
Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar.
Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah: perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah.
Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi kedokteran. Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing.
Inklusivisme = semua agama lain memiliki otentisitas masing-masing, tetapi hanya jika mereka masuk (to be included/inclusive)ke dalam bingkai kekristenan -- yakni jika agama-agama itu masuk untuk berjumpa Yesus Kristus di dalam kekristenan -- maka serentak dengan itu mereka mendapatkan kepenuhan/kegenapan/ kesempurnaannya. Hanya dengan gerak sentripetal (masuk ke pusat, yakni Yesus Kristus), maka agama-agama lain itu tiba pada, atau ditransformasi kepada, kesempurnaan. Hanya dengan bertemu Yesus, agama-agama lain berubah, dari bulan sabit menjadi bulan purnama, dari samar-samar menjadi terang benderang. Agama-agama lain bernilai 7 atau 8, tetapi agama Kristen bernilai 10.
Dus, walaupun terbuka, inklusivisme masih berdiri atas dasar prasuposisi keutamaan/ supremasi/keunggulan Yesus Kristus dibandingkan para tokoh suci pendiri agama-agama lainnya. Teori Karl Rahner tentang "anonymous christianity" berada dalam model/paradigma inklusivisme ini.
Eksklusivisme = agama saya adalah yang paling benar, agama saya menyingkirkan (to exclude) agama-agama lain sebagai ketidakbenaran.Agama saya bernilai 10; agama-agama lain nol besar bahkan minus. Bagi seorang eksklusivist Kristen, untuk bertemu pada kebenaran, tidak ada jalan lain selain orang membuang agama-agama lain, dan merangkul agama Yesus Kristus dan masuk ke dalam lembaga gereja.
Pluralisme = semua agama adalah jalan-jalan (ways) menuju kepada keselamatan-keselamatan (salvations); satu sama lain berbeda dan bahkan bisa bertentangan, tetapi semuanya saling memerlukan dan mengisi serta melengkapi/komplementer. Dalam agama-agama Abrahamik monoteistis, yang menjadi titik muara pertemuan semua agama adalah Allah YME. Berhadapan dengan perbedaan dan pertentangan, prinsip yang dipegang adalah "non-dualitas" (advaita); atman dan Brahman -- walaupun berbeda dan bertentangan, namun saling berangkulan. Yin dan Yang. Prinsip ini dioperasikan ketika agama-agama monoteistik Abrahamik bertemu dengan agama-agama Hinduisme, Buddhisme, dll yang paralel.
Fundamentalisme religius yang eksklusivist bisa hidup berlindung dalam payung pluralisme, tetapi tidak menyumbang sesuatu pun yang berharga dalam dunia pluralisme. Pada inti terdalamnya, fundamentalisme religius adalah anti-pluralisme meski pun aliran ini berpayung di bawah payung pluralisme untuk keamanan dirinya sendiri.
Dalam sejarahnya, kesadaran kosmik religius manusia berkembang, berevolusi, dari eksklusivisme, menuju inklusivisme, lalu tiba pada pluralisme. Dalam sejarah gereja, kesadaran ini bergerak dari "di luar gereja tidak ada keselamatan", masuk ke dalam "di luar Yesus tidak ada keselamatan", lalu tiba sementara ini pada "di luar Allah tidak ada keselamatan." Ini semacam Revolusi Kopernikus dalam dunia agama-agama.
Pergeseran paradigma ini dalam zaman modern sangat ditentukan oleh globalisasi, sesuatu yang sedang terjadi hanya di dalam era modern dengan teknologi tingginya.

No comments:

Popular Posts