Ngaturaken ►►Namo Buddhaya Selamat Datang Welcome Sugeng Rawuh di Blog Sederhana ini_/|\_Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta

12 November 2010

Kisah Tentang Burung Pelatuk

Bahkan ketika terancam, orang yang baik karena tidak terbiasa dengan sikap itu, sungguh tak dapat melakukan perbuatan yang jahat.

Suatu ketika Bodhisattva hidup di suatu hutan sebagai seekor burung pelatuk, termasyhur berkat bulunya yang indah, begitu cemerlang dan berwarna-warni. Tergerak oleh belas kasihnya yang senantiasa hadir, ia menolak mengikuti naluri berdosa keluarganya, dengan menghindari menyakiti makhluk lain. Ia makan dari bunga, buah serta tunas muda yang manis serta lezat dan merasa cukup.

Menunjukkan perhatiannya pada makhluk lain, ia menemukan kesempatan untuk mengajarkan ajaran cara hidup yang benar untuk menolong yang sedang tertimpa musibah dan mencegah yang berpikiran rendah melakukan perbuatan tersebut. Berbagai binatang di bagian hutan itu berkembang pesat, dilindungi oleh Mahasattva mereka menemukan seorang guru agama, orang baik, penyembuh dan juga raja. Semakin mereka menyadari dirinya terlindung oleh keagungan kasih sayangnya, kebajikan besar mereka semakin meningkat.

Suatu hari saat Mahasattva sedang terbang melintasi pepohonan merasakan belas kasih terhadap semua makhluk, ia melihat seekor singa dengan bulu tengkuk gimbal dan kotor oleh debu, menggeliat kesakitan di atas tanah seperti telah terkena anak panah beracun. Tergerak oleh belas kasih, burung pelatuk datang mendekat dan bertanya: “Apa yang terjadi, Oh Raja Binatang, yang membuatmu sedemikian menderita? Apakah engkau baru saja berkelahi dengan gajah, atau berlari jauh serta kencang mengejar beberapa rusa? Apakah engkau telah tertusuk oleh panah pemburu? Atau terserang sesuatu penyakit?”

“Tolong katakan apa yang membuatmu sakit, dan apa yang dapat dilakukan. Jika itu dalam kesanggupanku, aku akan melakukan apa pun untuk memulihkan sahabatku. Apa pun akan kulakukan untuk menyembuhkanmu atau meringankanmu sesuai permintaanmu.”

Singa menjawab: “Wahai makhluk baik serta burung terbaik, bukanlah penyakit atau kelelahan yang membuat ketidaknyamanan ini, bukan pula aku menjadi korban pemburu. Pecahan tulang telah tersangkut di tenggorokanku bagaikan ujung panah, hingga aku merasa sangat nyeri. Aku tak dapat menelannya ke dalam atau membuangnya keluar. Aku membutuhkan bantuan dari teman. Jika engkau mengetahui cara menolongku, tolong lakukanlah!”

Berkat kedalaman kepandaian Bodhisattva, ia dengan cepat menemukan cara untuk mengeluarkan tulang tersebut. Setelah mengambil sepotong kayu, ia lalu berkata: “Bukalah mulutmu lebar-lebar sedapatmu.” Lalu meletakkan kayu tersebut berdiri tegak di antara kedua rahang singa, selanjutnya burung pelatuk masuk ke bagian dalam tenggorokan singa. Ia melihat pecahan tulang pada satu sisinya dengan ujung paruhnya, dan secara perlahan-lahan berusaha melepaskan tulang tersebut, hingga akhirnya ia berhasil menariknya lepas. Karena ia keluar dari mulut singa dengan membawa tulang, ia menabrak kayu yang telah membuat mulut singa terbuka terlepas.

Tak ada tabib, betapapun ahli dan pandai, yang dapat berhasil dalam operasi seperti ini; hanya Bodhisattva yang kecerdasannya telah dikembangkan selama beratus-ratus kehidupan, memiliki kecakapan untuk menyelesaikannya.

Segera setelah burung pelatuk mengeluarkan tulang itu, bersamaan dengan itu juga penderitaan singa, kebahagiaannya tiada beda dengan yang di rasakan oleh singa sendiri, dimana telah berhasil menghentikan penderitaan sesama makhluk hidup. Demikianlah ciri-ciri spiritual dari orang yang baik: Mereka merasa lebih bahagia saat meringankan kesakitan orang lain dibandingkan memperoleh kebahagiaannya sendiri; mereka merasakan kepedihan dan kebahagiaan orang lain seakan dirinya sendiri. Demikianlah, Mahasattva, setelah menyembuhkan kesakitan singa, merasa sangat gembira. Setelah menerima ucapan terima kasih dari singa, Mahasattva meninggalkan singa dan pergi meneruskan perjalanannya.

Beberapa waktu berselang, secara kebetulan burung pelatuk, walaupun telah berkelana ke sana ke mari, tak dapat menemukan makanan apa pun yang sesuai selama berhari-hari, hingga ia didera oleh rasa lapar. Terbang melalui angkasa dengan sayapnya yang sangat indah, ia melihat singa yang dulu, sedang menikmati daging kijang muda yang baru saja dibunuhnya; mulut singa yang besar dan bertaring berlepotan dengan darah, merah pekat bagaikan awan senja di musim gugur.

Saat itu, menyadari bahwa ia binatang yang dermawan, ia tak mengutarakan sepatah kata permintaan pun; dengan sopan tetap berdiam diri. Tetapi karena ia sangat membutuhkan, ia bergegas berjalan meloncat-loncat di depan singa.

Sementara singa, meskipun ingat pada burung pelatuk, tidak mengundangnya untuk turut makan bersamanya. Kebajikan yang ditujukan kepada orang yang tidak tahu budi bagaikan sebuah persembahan yang diletakkan di atas abu dingin, seperti benih yang disemaikan di atas batu. Benih seperti itu menumbuhkan buah sikap tiada berterima kasih.

Lalu Bodhisattva berpikir: “Pasti singa tidak mengenaliku.” Mendekat lagi dengan lebih percaya diri, mengucapkan kata-kata penuh berkah oleh orang yang membutuhkan, ia meminta sebagian: “Wahai Raja Binatang, engkau yang mencukupi hidupmu melalui keberanian, berkah yang besar akan jatuh padamu berkat menghormati orang yang membutuhkan, orang yang membagikan kebutuhan dengan mana engkau akan memperoleh kebajikan dan nama baik.”

Akan tetapi sifat jahat dan sikap mementingkan diri sendiri singa telah membuatnya tak peduli disertai sikap bangga, karenanya ia mengabaikan kata-kata indah berkah ini. Mengawasi sekeliling memandangi Bodhisattva seolah hendak menelannya dengan nyala kemarahan matanya, ia mengaum: “Cukup! Bukanlah sudah cukup bila engkau masih hidup setelah masuk ke dalam mulut makhluk sepertiku? Aku dapat menikmati apa pun yang membuatku senang! Aku tidak mengenal kasihan. Ini sungguh menghinaku hingga engkau menemuiku lagi? Atau karena engkau ingin melihat alam berikutnya? Apakah engkau sudah bosan hidup?” Penolakan keras ini memenuhi Bodhisattva dengan perasaan malu. Terbang ke angkasa ia bersuara, berbicara kepada singa dalam bahasa sayap burung yang bebas dan kuat, lalu melanjutkan perjalanannya.

Seorang dewa hutan, marah atas sikap singa terhadap burung pelatuk, mengikuti Mahasattva ke awan untuk melihat apa yang dirasakan oleh burung tersebut. “Wahai makhluk yang mulia di antara burung, mengapa engkau, sang penolong singa, mengalami kesulitan seperti ini? Engkau memiliki kekuatan untuk membalas, apa gunanya menunjukkan kesabaran terhadap orang yang memalukan itu? Menganggap dirinya sangat kuat, engkau memiliki kekuatan untuk membuatnya buta dalam sekejap, atau untuk menjatuhkan makanan dari antara kedua giginya. Untuk apa menanggung kekurangajaran itu?”

Bodhisattva, meskipun telah menyembuhkan sakit singa dan dihasut oleh dewa, menjawab dengan cara yang menunjukkan sifatnya yang sangat baik: “Cukuplah kata-kata itu. Cara seperti itu bukan caraku. Orang baik menolong mereka yang dalam kesulitan karena kasihan, bukan karena mengharapkan balasan. Mereka tidak peduli apakah orang lain mengerti hal ini atau tidak. Lalu untuk apa marah? Ketidaktahuan diri hanya akan menyusahkan orang yang tahu diri, lalu siapa yang menginginkan imbalan dari sebuah kebajikan? Karena bagi seorang penolong, kesabaran tak diragukan lagi membawa berbagai kemuliaan di dunia ini dan berbagai kebajikan nanti.

“Bahkan, jika kebajikan dilakukan demi kebajikan dirinya, bagaimana mungkin hal itu disesali? Jika dilakukan dengan harapan memperoleh sesuatu imbalan, itu bukanlah kebajikan, tapi pinjaman. Orang mungkin saja memperoleh nama baik yang tiada habisnya dari praktik kebajikan, tetapi jika orang ingin membalas keburukan mereka yang tak tahu budi, ia akan menjadi seperti gajah yang setelah mandi di sungai, menutupi dirinya dengan debu.

“Orang yang tak memahami bagaimana membalas kebajikan tak akan mengerti kemuliaan yang terdapat dalam balas budi, bukankah menjadi dasar untuk menghancurkan kebahagiaannya sendiri? Siapa pun yang menerima pemberian dari orang berbudi, tidak membalas dengan bersikap bersahabat, cukup untuk ditinggalkan, namun demikian tetap tanpa kekasaran dan kemarahan.”

Sang dewa, bergembira atas kebijaksanaan yang demikian, berulang kali memji: “Benar, benar! Meskipun engkau tak memiliki penutup rambut atau pakaian kulit kayu, engkau sesungguhnya adalah seorang pertapa. Bukanlah busana yang membuat seseorang menjadi Muni; yang mempraktikan kebajikan adalah mereka yang berhati murni.” Setelah menyampaikan penghormatan pada burung pelatuk dengan cara ini, dewa tersebut menghilang.

Kisah pujian kemuliaan orang baik ini, menunjukkan bagaimana orang baik meskipun ketika dihasut tak akan berbuat buruk karena belum pernah mencoba melakukannya sebelumnya. Kisah ini juga sesuai pada saat menggambarkan kesabaran, untuk menunjukkan bagaimana orang yang mempraktikkan kesabaran akan jarang sekali menemui kebencian, jarang sekali mengalami penolakan, dan akan disukai serta disambut oleh banyak orang. Kisah ini juga memuji keteguhan dalam keseimbangan batin. Ia mengungkapkan bahwa orang bijak dengan menjaga keseimbangan batinnya, menunjukkan keunggulannya. Cerita ini dapat disampaikan pada saat mengagungkan Sang Tathagata dan memuji pengembangan sifat-sifat baik, untuk menunjukkan bagaimana sifat baik, bila benar-benar telah dibangkitkan tak akan pernah hilang, bahkan bila seseorang jatuh ke dalam kehidupan binatang.

(Dikutip dari kitab Jatakamala)

No comments:

Popular Posts