Ngaturaken ►►Namo Buddhaya Selamat Datang Welcome Sugeng Rawuh di Blog Sederhana ini_/|\_Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta

17 November 2010

PEMBALASAN PANGERAN VIRUDHAKA

Bagian.1

Sang Buddha kembali mengajarkan Dharma hukum sebab akibat karma kepada para makhluk yang terlatih.

Dahulukala di Kapilavastu, ibukota Sakya, terdapat seorang gadis pelayan dari bangsawan Sakya bernama Mahanama, pelayan tersebut mempunyai seorang anak perempuan yang sangat cantik bernama Mallika, yang pintar, bijak dan baik hati. Pada suatu hari, dalam menjalankan tugas dari majikannya, Mallika pergi kesuatu hutan. Di sana ia melihat kedatangan Sang Buddha, dan seketika bangkit keyakinan yang sangat kuat kepada Sang Buddha. Mallika ingin melakukan persemahan, tetapi merasa bahwa dirinya tidak dapat mendekati Sang Buddha, karena dia hanyalah seorang gadis pelayan.

Sang Bhagavan mengetahui pikirannya dan meminta sedekah kepadanya. senang sekali, ia memberikan sedekah dan berdoa agar diberkati kebebasan dari hidup sebagai pelayan. Seorang brahmana sahabat ayahnya, yang juga seorang peramal, memandangnya dan berkata; “Puteri temanku, karena dirimu tak punya harta benda, kau harus hidup menjadi pelayan orang lain. Tapi kamu tak akan lama memikul beban ini. Kamu sungguh cantik dan menarik. Telapak tanganmu selembut bunga teratai surgawi, dan kamu mempunyai tanda chakra serta kail besi ditanganmu. Jelas sekali bahwa kamu akan menjadi seorang ratu.”

Tak lama setelah itu, Raja Prasenajit dari Kosala, pergi berburu rusa dihutan. Kudanya yang terbaik tak butuh waktu lama sudah membawanya sampai di Kapilavastu, dimana disitu raja melihat Mallika dan menjadi jatuh hati kepadanya. Raja membicarakan perihal Mallika pada Sakya Mahanama, yang telah memberinya busana terbaik dan permata seolah-olah ia merupakan anaknya sendiri, dan menghadiahkannya kepada sang raja. Raja Prasenajit bersama Mallika selanjutnya pergi bersama-sama dengan mengendarai gajah kerajaan.

Kini tentang Ratu Varsika, istri pertama sang raja, yang adalah seorang puteri yang sangat cantik laksana seorang bidadari. Menggandeng Mallika dengan tangannya, ia kagum pada kulit Mallika yang sehalus bunga teratai, dan juga kagum bahwa dia lebih cantik dari dirinya.

Sang Buddha berkata kepada para bhiksu: “Dahulukala, kedua permaisuri itu adalah istri dari seorang brahmana bernama Srutapara. Nama mereka adalah Kanta dan Sarika. Ketika itu Kanta mengundang seorang Pratyekabuddha kekediaman Srutapara dan menghormatinya selama tiga bulan. Setelah menyucikan dirinya dan melakukan persembahan kepada Pratyekabuddha tersebut, Kanta kini menjadi Varsika, yang secantik para bidadari. Sarika juga melakukan persembahan dengan berbagai persembahan yang manis, lembut serta bendah-benda indah lainya, dan kini dia menjadi Mallika, orang yang lembut bila disentuh.”

Mallika kemudian mempunyai seorang putera dari sang raja. Anak itu tumbuh menjadi cerdas, kuat dan pemberani sehingga kemudian dipanggil Virudhaka atau Yang Lahir Mulia. Dalam masa remajanya, ia berkawan bersama putera seorang menteri bernama Dirghacarayana, seorang anak yang juga sebaya dengan dirinya yang juga di kenal dengan nama Maturduhkha, mereka berdua menjadi sahabat karib. Pada suatu hari, mereka berdua bepergian diatas punggung kuda ke kota Sakya, yang mana orang-orang Sakya mentertawainya, mereka berteriak: “Lihatlah itu! Kita bersama dengan anak dari seorang gadis pelayan!” Terdorong oleh keinginan untuk membalas penghinaan tersebut, Virudhaka diam-diam merencanakan akan merebut singgasana kerajaan. Tak lama setelah itu, saat ayahandanya, Raja Prasenajit, pergi dari kota untuk mendengankan Sang Buddha mengajarkan Dharma, Virudhaka memerintahkan sahabatnya Dirghacarana, yang telah menjadi kusir sang raja, agar meninggalkan sang raja ditempat pengajaran dan segera kembali ke rumah tanpa membawa kereta. Virudhaka lalu merebut tahta.

Setelah Raja Prasenajit selesai menerima ajaran Dharma, ia mendapati kedua menterinya tersebut berikut keretanya telah pergi, sehingga sang raja kembali ke istana dengan berjalan kaki. Di perjalanan, sang raja bertemu dengan kedua orang istrinya, yang memberitahunya bahwa puteranya telah merebut tahta kerajaan. Berharap mendapatkan bantuan untuk mengatasi keadaan tersebut, sang raja memutuskan pergi bersama permaisuri Varsika ke Rajagriha, negeri sahabatnya Ajatasatru. Di perjalanan raja merasa sangat lapar dan memakan beberapa umbi-umbian. Hingga, setelah minum air, sang raja meninggal karena sakit perut.

Sementara itu, Raja Ajatasatru, mendengar bahwa sahabatnya telah datang, keluar untuk menyambutnya. Saat ia mendapati bahwa Raja Prasenajit telah meninggal, ia menjadi sangat terpukul. Saat itu juga Raja Ajatasatru pergi menemui Sang Buddha dan berkata: “Jika kami tak dapat membantu sahabat kami, lalu untuk apa memiliki sahabat bahkan juga kedudukan, jika ternyata semuanya tak berguna? Bagaimana mulanya hingga karma sahabat kami masak dengan jalan seperti ini?”

Sang Buddha menjawab: “Demikianlah, semua yang terbentuk tiada kekal. Itulah sebabnya sangat perlu bagimu untuk bermeditasi Samadhi ketenangan.

“Jauh dimasa lampau, seorang brahmana bernama Susarma, Sangat Bahagia, mendapat sebuah lobak. Telah menyerahkannya kepada ibunya untuk dibuat makan malam, ia lalu pergi kerumah pemandian didekatnya. Merasa lapar, ia pulang kerumah dan di jalan, ia melihat lobaknya berada didalam mangkuk pindapatra seorang Pratyekabuddha. Menganggap bahwa ibunya tentu telah memberikan lobak tersebut, seketika ia berkata kepada ibunya, “Dimana lobakku?” “Aku telah memberikannya kepada seorang Pratyekabuddha,” jawab ibunya, “dengan begitu kamu bisa turut beranumodana atas kebajikannya.” Sang brahmana menjadi sangat marah dan membentak, “Semoga sebuah lobak yang sama akan muncul dalam hidupku yang akan datang! Semoga ia tak dapat dicerna dan menyebabkan orang yang memakannya mati karenanya!”

“Orang yang benazar tersebut adalah Raja Prasenajit. Ia menjadi seorang raja berkat kebajikan dari orang lain (ibunya), akan tetapi karena masaknya kehinaan tersebut, ia tak dapat mencerna lobak dan meninggal.”

Sementara itu, Virudhaka bersama dengan para menterinya, keduanya tetap menyimpan dendam yang besar, mengumpulkan balatentaranya dan berbaris menuju ke kota Sakya. Sang Bhagavan, mengetahui hal ini, beliau duduk sendirian dihadapan sebatang pohon mati ditepi jalan. Virudhaka melihat Sang Buddha duduk disana, bersujud kepadanya, lalu berkata: “Mengapa Sang Bhagavan tidak duduk dibawah pohon yang teduh yang menyenangkan? Mengapa engkau duduk didepan sebuah pohon yang sudah mati?”

No comments:

Popular Posts