Ngaturaken ►►Namo Buddhaya Selamat Datang Welcome Sugeng Rawuh di Blog Sederhana ini_/|\_Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta

23 January 2009

SK 7 KD 7.3 Kelas XI Semester 2

Standar Kompetensi:
Memahami Hukum Dhamma

KOmpetensi Dasar:
7.3 Menguraikan hukum kebenaran universal

QUIZ:
1. Sebutkan isi Hukum Kesunyataan!
2. Jelaskan konsep Hukum Cattari Ariya Saccani!
3. Jelaskan konsep Hukum Kamma dan Punabbhava!
4. Jelaskan konsep Tilakkhana!
5. Jelaskan konsep Paticcasamuppada!

5 comments:

Anonymous said...

1. hukum kesunyataan yang diajarkan oleh Sang Buddha antara lain :
a. Cattari arya saccani(empat kesunyataan mulia)
b. hukum sebab akibat perbuatan (kamma)dan kelahiran kembali (punarbhava)
c. tiga corak umum (tilakkhana)
d. asal mula karena kondisi yang saling menjadikan (patticasamuppada)

Anonymous said...

2. EMPAT KEBENARAN ARYA
(Cattari Ariya Saccani)


Di Taman Rusa Isipatana, pada bulan Asalha, ketika untuk pertama kalinya Guru Buddha membabarkan Dhamma, dalam Dhammacakkappavattana Sutta; Samyutta Nikaya 56.11 {S 5.420} , Guru Buddha mengajarkan Empat Kebenaran Ariya (Cattari Ariya Saccani) kepada Lima Bhikkhu Pertama (Panca Vaggiya Bhikkhu).

I
Kebenaran Ariya tentang Dukkha
(Dukkha Ariya Sacca)



Guru Buddha bersabda, “Sekarang, O, para bhikkhu, Kebenaran Ariya tentang Dukkha, yaitu : kelahiran adalah dukkha, usia tua adalah dukkha, penyakit adalah dukkha, kematian adalah dukkha, sedih, ratap tangis, derita (badan), dukacita, putus asa adalah dukkha; berkumpul dengan yang tidak disenangi adalah dukkha, berpisah dari yang dicintai adalah dukkha, tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah dukkha. Singkatnya Lima Kelompok Kemelekatan merupakan dukkha.”

Definisi

Kata ”dukkha” yang berasal dari bahasa Pali, sukar sekali untuk diwakilkan secara tepat oleh satu kata dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris karena memiliki makna yang dalam. Secara etimologi berasal dari kata ”du” yang berarti sukar dan kata ”kha” yang berarti dipikul, ditahan. Jadi kata ”du-kha” berarti sesuatu atau beban yang sukar untuk dipikul. Pada umumnya dukkha dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai penderitaan, ketidakpuasan, beban.

Tiga Bentuk Dukkha

Dalam Dukkhä Sutta, Y.A Sariputta menjelaskan adanya tiga bentuk dukkha kepada Jambukhadika, “ Ada tiga bentuk dari dukkha, sahabatKu, yaitu : dukkha-dukkhä, viparinäma-dukkhä, sankhärä-dukkhä. Inilah tiga bentuk dukkha.”

dukkha-dukkhä
adalah ketidakpuasan atau penderitaan yang alami dan dirasakan tubuh dan bathin, seperti sakit jantung, sakit kepala, perasaan sedih karena berpisah dengan yang dicintai, kegagalan dalam usaha, sebagainya.

viparinäma-dukkhä
adalah ketidakpuasan atau penderitaan yang tidak lepas dari adanya perubahan, seperti kondisi perasaan bahagia, yang dirasakan cepat atau lambat akan mengalami perubahan.

sankhärä-dukkhä
adalah ketidakpuasan atau penderitaan yang berhubungan dengan Lima Kelompok Kemelekatan (Panca Khanda), seperti perasaan susah karena tidak dapat menikmati makanan enak yang dipicu karena adanya indera pengecap yang merupakan salah satu dari Lima Kelompok Kemelekatan (Panca Khanda).

Dalam Dukkhä Sutta; Samyutta 38.14 {S 4.259}, Y.A Sariputta menjelaskan adanya tiga bentuk dukkha Jambukhadika, adalah ketidakpuasan atau penderitaan yang alami dan dirasakan tubuh dan bathin, seperti sakit jantung, sakit kepala, perasaan sedih karena berpisah dengan yang dicintai, kegagalan dalam usaha, sebagainya.adalah ketidakpuasan atau penderitaan yang tidak lepas dari adanya perubahan, seperti kondisi perasaan bahagia, yang dirasakan cepat atau lambat akan mengalami perubahan adalah ketidakpuasan atau penderitaan yang berhubungan dengan Lima Kelompok Kemelekatan (Panca Khanda), seperti perasaan susah karena tidak dapat menikmati makanan enak yang dipicu karena adanya indera pengecap yang merupakan salah satu dari Lima Kelompok Kemelekatan (Panca Khanda).

II
Kebenaran Ariya tentang Asal Mula Dukkha
(Dukkha Samudaya Ariya Sacca)


Guru Buddha bersabda, “Sekarang, O, para bhikkhu, Kebenaran Ariya tentang Asal Mula Dukkha, yaitu : Ketagihan (tanhâ) yang menyebabkan tumimbal lahir, disertai dengan hawa nafsu untuk menemukan kesenangan di sana sini, yaitu kamatanhâ : ketagihan akan kesenangan indria, bhavatanhâ : ketagihan akan penjelmaan, vibhavâtanhâ : ketagihan untuk memusnahkan diri.”

Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan bahwa sumber dari dukkha atau penderitaan adalah tanhâ, yaitu nafsu keinginan yang tidak ada habis-habisnya. Tanha dapat diibaratkan seperti candu atau opium yang menimbulkan dampak ketagihan bagi yang memakainya terus-menerus, dan semakin lama akan merusak fisik maupun mental si pemakai. Tanha juga dapat diibaratkan seperti air laut yang asin yang jika diminum untuk menghilangkan haus justru rasa haus tersebut semakin bertambah.

Ada tiga bentuk tanhä, yaitu :

1.Kämatanhä : adalah ketagihan akan kesenangan indriya, ialah ketagihan akan :
a. bentuk-bentuk (indah)
b. suara-suara (merdu)
c. wangi-wangian
d. rasa-rasa (nikmat)
e. sentuhan-sentuhan (lembut)
f. bentuk-bentuk pikiran

2.Bhavatanhä : adalah ketagihan untuk lahir kembali sebagai manusia yang berdasarkan pada kepercayaan yang mengatakan tentang adanya "atma (roh) yang kekal dan terpisah" (attavada).

3.Vibhavatanhä : adalah ketagihan untuk memusnahkan diri, yang berdasarkan kepercayaan yang mengatakan bahwa setelah manusia meninggal maka berakhirlah segala riwayat tiap-tiap manusia (ucchedaväda).

III
Kebenaran Ariya tentang Terhentinya Dukkha
(Dukkha Nirodha Ariya Sacca)


Guru Buddha bersabda, “Sekarang, O, para bhikkhu, Kebenaran Ariya tentang Terhentinya Dukkha, yaitu : terhentinya semua hawa nafsu tanpa sisa, melepaskannya, bebas, terpisah sama sekali dari ketagihan tersebut.”

Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan bahwa dukkha bisa dihentikan yaitu dengan cara menyingkirkan tanhä sebagai penyebab dukkha. Ketika tanhä telah disingkirkan, maka kita akan terbebas dari semua penderitaan (bathin). Keadaan ini dinamakan Nibbana.

Dalam Itivuttaka 44; Khuddaka Nikaya, Guru Buddha menjelaskan bahwa terdapat 2 elemen/jenis Nibbana, yaitu :

Sa-upadisesa-Nibbana
Nibbana masih bersisa. Yang dimaksud dengan bersisa di sini adalah masih adanya Lima Khanda. Ketika Petapa Gotama mencapai Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha, Beliau dikatakan telah dapat mencapai Sa-upadisesa-Nibbana tetapi masih memiliki Lima Khanda (jasmani, kesadaran, bentuk pikiran, pencerapan dan perasaan). Sa-upadisesa-Nibbana juga dapat dikatakan sebagai kondisi batin (state of mind) yang murni, tenang, dan seimbang.

An-upadisesa-Nibbana
Nibbana tanpa sisa. Setelah meninggal dunia, seorang Arahat akan mencapai anupadisesa-nibbana, ialah Nibbana tanpa sisa atau juga dinamakan Pari-Nibbana, dimana tidak ada lagi Lima Khanda (jasmani, kesadaran, bentuk pikiran, pencerapan dan perasaan), tidak ada lagi sisa-sisa dan sebab-sebab dari suatu bentuk kemunculan. Sang Arahat telah beralih ke dalam keadaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Hal ini dapat diumpamakan dengan padamnya api dari sebuah pelita, kemanakah api itu pergi ? Hanya satu jawaban yang tepat, yaitu ‘tidak tahu’. Ketika Guru Buddha mangkat/wafat, Beliau dikatakan telah mencapai anupadisesa-nibbana.

IV
Kebenaran Ariya tentang Jalan yang Menuju Terhentinya Dukkha
(Dukkha Nirodha Ariya Sacca)



Guru Buddha bersabda, “Sekarang, O, para bhikkhu, Kebenaran Ariya tentang Jalan yang menuju terhentinya Dukkha, tiada lain adalah Jalan Suci Berunsur Delapan, yaitu : Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Usaha Benar, Perhatian Benar, Konsentrasi Benar.”

Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan bahwa ada Jalan atau Cara untuk menghentikan dukkha.

Jalan Menuju Terhentinya Dukkha dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu :

Kebijaksanaan (Panna)
Pengertian Benar (sammä-ditthi)
Pikiran Benar (sammä-sankappa)

Kemoralan (Sila)
Ucapan Benar (sammä-väcä)
Perbuatan Benar (sammä-kammanta)
Pencaharian Benar (sammä-ajiva)

Konsentrasi (Samädhi)
Daya-upaya Benar (sammä-väyäma)
Perhatian Benar (sammä-sati)
Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)

Demikianlah Empat Kebenaran Ariya (Cattari Ariya Saccani) yang tidak dapat dipisahkan antara Kebenaran yang satu dengan Kebenaran yang lainnya. Empat Kebenaran Ariya (Cattari Ariya Saccani) bukanlah ajaran yang bersifat pesimis yang mengajarkan hal-hal yang serba suram dan serba menderita. Dan juga bukan bersifat optimis yang hanya mengajarkan hal-hal yang penuh harapan, tetapi merupakan ajaran yang realitis, ajaran yang berdasarkan analisa yang diambil dari kehidupan di sekitar kita.

Anonymous said...

3. kamma mengandung arti ‘pekerjaan’ atau ‘perbuatan’. Namun di dalam konteks Dhamma kita mendefinisikan kamma lebih spesifik sebagai ‘perbuatan yang didasari kehendak (cetana)’ atau ‘perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan kehendak’. Di dalam ajaran Buddha, perbuatan-perbuatan yang tidak dilandasi kehendak tidak dipandang sebagai kamma.

Namun demikian, definisi ini, adalah definisi yang umum. Apabila kita mengharapkan untuk mengklarifikasinya, dan melihatnya di dalam rentang makna yang menyeluruh, kita harus menganalisanya lebih mendalam, membaginya ke dalam perspektif yang berbeda

Secara dasariah, kamma adalah kehendak, yang mencakup kehendak, keinginan, pemilihan dan keputusan, atau energi yang mendorong ke arah perbuatan. Kehendak adalah sesuatu yang mendorong dan mengarahkan semua perbuatan mahluk hidup. Kamma adalah agen atau kekuatan pendorong di dalam semua pembentukan dan penghancuran yang dilakukan mahluk hidup, oleh karena itu, kehendak merupakan dasar / inti aktual dari kamma, seperti diberikan di dalam kata-kata Buddha: Cetanaham bhikkhave kammam vadami: Para bhikkhu, saya katakan, kehendak adalah kamma. Setelah berkehendak, kita membentuk kamma melalui jasmani, ucapan dan pikiran.

Pada titik ini, kita seyogyanya memperluas pengertian atas kata ‘kehendak’ (cetana) ini. ‘Kehendak’ di dalam konteks Dhamma memiliki pengertian yang lebih halus daripada pengertian di dalam penggunaan umum. Di dalam bahasa Indonesia, lebih cenderung digunakan kata ‘kehendak’ apabila kita ingin menyediakan suatu hubungan antara pikiran internal dengan hasil perbuatan eksternal. Sebagai contoh, kita cenderung untuk mengatakan,’Saya tidak berniat untuk melakukannya’, ‘Saya tidak berarti mengatakan itu’ atau ‘ia melakukannya tanpa kehendak’. Namun menurut ajaran Dhamma, semua perbuatan dan perkataan, semua pikiran tidak masalah bagaimana bergulir, dan tanggapan pikiran terhadap berbagai objek yang diterima melalui indera penglihatan, indera pendengaran, indera penciuman, indera pengecapan dan indera sentuhan, dan perenungan di dalam batin itu sendiri, tanpa kecuali, mengandung unsur kehendak. Kehendak, dengan demikian adalah dorongan atau pemilihan secara sadar atas objek kesadaran melalui batin. Kehendak merupakan faktor yang mendorong batin untuk mengarah ke, atau menolak dari, berbagai objek kesadaran atau perhatian batin, atau untuk melanjutkan dalam arah tertentu. Kehendak merupakan pembimbing, manajer atau pemerintah dari bagaimana batin menanggapi stimuli / rangsangan. Kehendak merupakan kekuatan yang merencanakan dan mengorganisasikan proses pergerakan batin, dan secara mutlak kehendaklah yang menentukan berbagai kondisi yang dialami oleh batin.

Satu contoh kehendak adalah satu contoh kamma. Apabila ada kamma, maka ada hasil yang segera. Bahkan hanya satu saat pikiran kecil, walaupun tidak penting, tidaklah terlepas dari konsekuensinya.

Punabbhava (tumimbal lahir) merupakan konsekuensi logis dari proses kamma.

Kamma dan tumimbal lahir saling terkait, dan merupakan ajaran pokok dalam Buddha Dhamma. Sebelum kehadiran Buddha Gotama, kepercayaan tentang kamma dan tumimbal lahir sudah umum dikenal di India. Namun demikian, hanya Sang Buddha yang telah menerangkan dan memformulasikan kedua doktrin tersebut secara lengkap seperti yang kita miliki sekarang.

Apakah penyebab ketidaksamaan yang ada di antara umat manusia?

Bagaimanakah kita bertanggung jawab atas ketidaksamaan di dalam dunia yang tidak seimbang ini?

Mengapa seseorang harus dibesarkan di dalam kemewahan yang tak terhingga dengan sikap batin, moral dan kualitas fisik yang baik, sedangkan orang lainnya dilahirkan sebagai jutawan dan yang lainnya sebagai fakir miskin? Mengapa seseorang harus memiliki keajaiban mental sedangkan yang lainnya idiot? Mengapa seseorang dilahirkan dengan sikap ‘kesucian’ sedangkan yang lainnya memiliki kecenderungan kriminal? Mengapa seseorang harus memiliki kemampuan berbagai bahasa, sebagai artis, ahli matematika, dan sebagai musisi sejak kecil (balita)? Mengapa beberapa orang harus buta, tuli dan cacat sejak dilahirkan? Mengapa beberapa orang dipuja sedangkan orang lainnya dikutuk/dicampakan sejak kelahirannya?

Secara pasti, terdapat satu sebab ATAU sebab-sebab yang mengakibatkan ketidaksamaan di antara umat manusia, ataukah murni merupakan kecelakaan semata?

Tak seorang pun yang memiliki kebijaksanaan akan berpikir bahwa ketidaksamaan, keragaman ini disebabkan oleh peluang membuta/untung-untungan (seperti teori peluang statistic) atau murni karena kecelakaan semata.

Di dunia ini tidak satupun yang terjadi bahwa manusia tidak berhak hanya karena beberapa alasan atau lainnya yang tak masuk akal. Biasanya alasan atau alasan-alasan yang sesungguhnya, tidak dapat dimengerti oleh akal manusia atau intelektual biasa. Sebab tak terlihat yang pasti atau sebab-sebab dari akibat yang terlihat tidaklah perlu dibatasi hanya oleh kehidupan sekarang, namun dapat ditelusuri ke kelahiran sebelumnya atau kelahiran-kelahiran jauh sebelum kehidupan saat ini.

Dengan bantuan pengetahuan telesthesia dan retro- cognitive, tidak mungkinkah bagi seseorang yang dengan baik mengembangkan ‘penglihatannya’ untuk mencerap kejadian-kejadian yang secara biasa tidak dapat dicerap dengan fisik mata? Umat Buddha mengakui kemungkinan pencerapan tersebut !

Beberapa kaum religius dengan puasnya mempertalikan ketidaksamaan ini kepada satu sebab tunggal seperti ‘Dewa/Tuhan Pencipta’ yang tidak dapat dimengerti. Buddha secara langsung menolak keberadaan satu mahluk pencipta, yang diinterpretasikan sebagai ‘Mahluk Yang Maha Kuasa’ atau sebagai satu ‘kekuatan kosmik yang tanpa sebab.’

Istilah bahasa Pali yang setara bagi ‘Dewa/Tuhan Pencipta’ seperti di dalam kepercayaan lain adalah Issara (Isvara dalam bahasa Sansekerta) atau Brahma. Di dalam Tipitaka secara mutlak tidak ada referensi tekstual apapun akan keberadaan satu mahluk pencipta atau hubungannya dengan kisah penciptaan manusia.

Meskipun kenyataannya bahwa Buddha tidak mendudukkan ‘Dewa/Tuhan’ gaib mengatasi manusia, beberapa pakar memaksakan bahwa Buddha bersikap diam terhadap pertanyaan kontroversial yang penting ini. Pertanyaan-pertanyaan berikut ini akan jelas menunjukkan pandangan Buddha terhadap konsep satu ‘Dewa/Tuhan Pencipta.’

Di dalam Anguttara Nikaya, Buddha menyatakan ada 3 pandangan yang berbeda yang terdapat pada jaman Beliau. Satu dari ketiga pandangan tersebut adalah :

“Perasaan senang, tidak menyenangkan atau perasaan netral apapun yang dialami orang-orang ini, semuanya disebabkan oleh kreasi/ciptaan satu Dewa Agung (Issara-nimmanahetu).” (Anguttara Nikaya I, 174; Gradual Sayings I, 158).
Menurut pernyataan ini kita adalah apa yang diinginkan oleh satu ‘Pencipta.’ Masa depan kita tergantung sepenuhnya di dalam tangannya. Nasib kita telah ditentukan olehnya. Keinginan bebas yang diakui sebagai ciptaannya tak pelak lagi merupakan kekeliruan.

Meng-kritik pandangan yang fatal ini, Buddha mengatakan:
“Demikian, kemudian, karena ciptaan dari satu Dewa Agung, orang-orang akan menjadi pembunuh, pencuri, pezinah, pembohong, pemfitnah, pembicara kasar, pembicara omong kosong, penuh nafsu serakah, berkeinginan jahat dan memiliki pandangan salah. Demikianlah bagi mereka yang bersandar pada ciptaan satu Dewa/Tuhan sebagai alasan utamanya, maka tidak akan ada keinginan untuk melakukan sesuatu, juga tidak ada usaha untuk melakukan, ataupun tidak perlu untuk melakukan perbuatan ini atau mengendalikan diri dari perbuatan itu.” (Anguttara Nikaya I, 174; Gradual Sayings I, 158).

Di dalam Devadaha Sutta (Majjhima Nikaya No. 101, ii. 222), berkenaan dengan pertapa telanjang, Buddha menyatakan:
“Apabila, O para bhikkhu, mahluk-mahluk mengalami penderitaan dan kebahagiaan sebagai hasil atau sebab dari ciptaan Dewa/Tuhan (Issaranimmanahetu), maka para pertapa telanjang ini tentu juga diciptakan oleh satu Dewa/Tuhan yang jahat/nakal (Papakena Issara), karena mereka kini mengalami penderitaan yang sangat mengerikan.”

Di dalam ajaran Buddha, perbedaan kondisi batin, moral, intelektual, temperamen merupakan kombinasi dari perbuatan dan tendensi kita di masa lalu maupun kini.

Walaupun Sang Buddha mengatributkan variasi atau keragaman ini karena Kamma, sebagai sebab terdekat dan utama di antara sebuah keragaman, namun bukanlah berarti bahwa segala sesuatu disebabkan oleh kamma. Ajaran Kamma, penting seperti adanya, hanya merupakan satu dari 24 (dua puluh empat) kondisi (paccaya), yang dideskripsikan di dalam ajaran Buddha.

Sebuah teks penting yang menceritakan Sang Buddha meng-‘counter’ sebuah pandangan keliru bahwa “segala sesuatu yang menyenangkan, tak menyenangkan ataupun netral yang dialami disebabkan oleh beberapa perbuatan lampau (pubbekatahetu), Sang Buddha menyatakan:

“Demikian, karena perbuatan lampau manusia menjadi pembunuh, pencuri, pe-zinah, pembohong..... berpandangan salah. Demikianlah bagi mereka yang bersandar pada kamma perbuatan lampau sebagai sebab utama, maka tidak akan ada keinginan untuk melakukan sesuatu, juga tidak ada usaha untuk melakukan, ataupun tidak perlu untuk melakukan perbuatan ini atau mengendalikan diri dari perbuatan itu.” (Anguttara Nikaya, I, 173).

Uraian tersebut bertentangan dengan kepercayaan bahwa semua kondisi fisik maupun kecenderungan batin lahir diakibatkan kamma. Apabila kehidupan kini secara total dikondisikan atau sepenuhnya dikontrol oleh kamma lampau, maka kamma tertentu cenderung mengarah ke fatalisme atau determinisme atau predestinasi. Seseorang tidak akan pernah memiliki kebebasan untuk menentukan kehidupannya kini dan akan datang. Artinya kebebasan berkehendak merupakan isapan jempol belaka. Kehidupan seolah bersifat murni mekanis, tak ubahnya sebuah mesin. Tak ada bedanya dengan dikontrol atau dikendalikan oleh “Dewa/Tuhan Pencipta”. Perbedaannya hanya perbedaan kata, yaitu kata “Dewa/Tuhan Pencipta” dengan kata “kamma” Susunan kata yang satu dapat disubstitusikan dengan kata yang lain, karena kekuatannya sama.

sumber: http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=4997.0

Anonymous said...

4. hukum tilakkhana berlaku di mana-mana dan pada setiap waktu,yang terdiri atas:
a. Anicca lakkhana (corak ketidak kekalan)
segala sesuatu yang tidak kekal terdiri atas 3 rangkaian:
uppada(timbul) - thiti(berlangsung) - bhanga(berakhir/lenyap)

b. Dukkha Lakkhana (corak tidak memuaskan)
segala sesuatu yang terbentuk dan bersyarat adalah tidak memuaskan dan oleh karena itu tercengkram oleh dukkha(sabbe sankhara dukkha). jadi dukkha tilakkhana bukan selalu berarti suatu perasaan,tetapi ketidakkekalan itu sendiri yang dimaksudkan dengan dukkha.

c. Annata Lakkhana(corak tanpa inti)
segala sesuatu adalah tanpa inti, tidak memiliki inti yang tetap atau pribadi yang kekal (sabbe dhamma anatta). Semua kejadian dan perwujudan di dunia ini, semuanya tanpa inti, karena semuanya terjadi berdasarkan sebab dan kondisi-kondisi yang saling melengkapi.

Anonymous said...

5. konsep Paticcasamuppada:

" Dengan timbulnya ini, maka terjadilah itu.
Dengan terjadinya itu, maka ini muncul.
Dengan tidak timbulnya ini, maka itu pun tidak terjadi.
Karena itu tidak terjadi,maka terhentilah ini."

Popular Posts