Ngaturaken ►►Namo Buddhaya Selamat Datang Welcome Sugeng Rawuh di Blog Sederhana ini_/|\_Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta

25 November 2009

PELINDUNG YANG SEJATI BAGI DIRI SENDIRI

PELINDUNG YANG SEJATI BAGI DIRI SENDIRI

(DhammaTalk Puja Relik 15 November 2009 @MGK-JKT)

Begitu banyak orang, khususnya umat Buddha, meminta perlindungan dari berbagai sumber, ke pohon besar, keris, dan juga relik. Mereka bahkan ada yang menelan bulat-bulat relic tersebut. Menganggap relic adalah penakluk segala bahaya. Memohon pada relic untuk terbebas dari segala derita. Apakah ini tepat????

Selayaknya umat Buddha berlindunglah pada Tiratana yaitu Buddha , Dhamma, Sangha.

Namun bukan berarti berlindung pada Buddha kita menyembah patung/reliknya dan semuanya beres. Bukan itu ! Berlindung pada Dhamma, kita berlindung dibalik tumpukan buku-buku Dhamma yang tebal-tebal ? Bukan itu ! Selalu berada dekat-dekat Bhante agar aman untuk menyatakan berlindung pada Sangha ? Bukan itu !

Berlindung pada Buddha bermakna ; berusaha memiliki Kebijaksanaan selayaknya Buddha yang kita tiru dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu mampu mengetahui pandangan , pikiran, perbuatan, mata pencaharian, ucapan, kesadaran, serta konsentrasi mana yang baik atau buruk, benar dan tidak benar. Terlihat jelas terukur kebenarannya yang dapat diukur dari batin kita sendiri. Jika kita masih bimbang dan merasa resah gelisah bahkan takut akan perbuatan kita sendiri, maka itu sebenarnya adalah perbuatan yang anda sendiri merasa bahwa itu sudah tidak benar untuk dilakukan. Jadi yang baik dilakukan, yang tidak baik dihindari.

Kita tahu marah itu tidak baik, tetapi kita tetap menjalani/melakukannya. Sementara kita tahu di dalam Buddhang saranam gachami (Aku berlindung kepada Buddha) bermakna: sesuatu yang tidak baik, dihindari ! itulah yang benar !

Ini juga berkaitan dengan Dhammang saranam gatchami (Aku berlindung kepada Dhamma), dimana kita harus bertanggung jawab pada perbuatan kita. Melakukan kebenaran berdasarkan Dhamma, mengakui kesalahan & memperbaikinya.

Sanghang saranam gatchami (Aku berlindung kepada Sangha): mereka-mereka yang mampu melaksanakan Ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari sehingga selalu bertindak lurus, benar, dan patut, itulah yang pantas kita turuti.

Maka itulah perlindungan sejati. Kemanapun kita pergi akan selamat. Timbunan kebajikan ini mengkondisikan kita berada pada tempat yang tepat dan waktu yang sesuai.

Contoh : Saat seseorang yang berada di tempat sepi, ingin menolong korban kecelakaan tabrak lari, namun ia dipergoki penduduk dan disangka sebagai penabrak sehingga dia malah yang digebugi oleh massa, ini berarti dia berada pada tempat yang tidak tepat, pada waktu yang tidak sesuai. Sebaliknya, orang-orang yang selamat dari mara bencana-gempa, banjir, longsor, bom; karena mereka telah meninggalkan tempat tepat beberapa saat sebelum peristiwa itu terjadi. Mereka dapat dikatakan sebagai orang yang terlindung oleh kebajikan mereka masing-masing. Perlindungan sejati seperti ini dapat terjadi karena berasal dari perbuatan kebajikan kita sendiri yang lurus,patut , dan benar melalui pelaksanaan pernyataan Buddham, Dhammam, Sangham saranang gachami.

Beberapa pertanyaan pengunjung setelah selesai uraian Dhamma :

1. Kenapa ada kejadian disaat ada bencana banjir, semua tergenang namun altar Sang Buddha selamat dari musibah ?

BU.M (Bhikkhu Uttamo Mahathera) : untuk kasus altar bebas banjir, ini pasti akan terjadi terutama bagi altar yang berada di lantai tingkat 8 (tawa meledak). Tetapi apakah ada altar yang bebas dari kebakaran ? (BU.M balik bertanya). Ada, dan memang itu ada nyata. Tapi lebih banyak altar yang sebagai penyebab dari kebakaran (tawa meledak kembali). Banyak kasus lilin altar disenggol kucing dan mengakibatkan timbulnya kasus kebakaran. Untuk hal ini, muncul pandangan keliru akan sebab terselamatkannya sebuah altar. Yang membuat selamat adalah karma baik dari si pemilik altar tersebut. Apabila terselamatkan, menimbulkan keyakinan yang makin besar terhadap Buddha sehingga puja-nya pun semakin sungguh-sungguh & yakin. Namun jika sebaliknya pun jangan sampai melunturkan keyakinan terhadap Ajaran kebenaran & kebajikan.

2.Relik gigi geraham Sang Buddha saja 10cm, seberapa besar tubuhnya? Angulimala apa memiliki relik?

BU.M : sebagai info, sesuai dengan ilmu kedokteran, gigi paling belakang sudah mulai berkurang fungsinya sehingga di masa sekarang gigi geraham paling belakang lebih banyak yang dicabut karena kurang bermanfaat. Adapun bentuk fisik juga mengalami proses evolusi dari tahun ke tahun. Sehingga tidak mustahil pada 3000th lalu, pada jaman Sang Buddha masih hidup, manusia memiliki tubuh yang memang jauh lebih besar, sehingga struktur giginya pun demikian.

Angulimala; Bahwa perilaku manusia sebetulnya tidak mempengaruhi pencapaian kesucian, kecuali apabila melakukan salah satu dari 5 keburukan/kejahatan besar yaitu membunuh ayah, membunuh ibu, melukai seorang Sammasambuddha, membunuh arahatta dan memecah belah Sangha.Untunglah Sang Buddha menolong Angulimala agar tdk memotong jari ibu kandungnya. Oleh karenanya kita bisa melihat relik dari Arahatta Angulimala. Perlu digarisbawahi, Orang yg suci bila dikremasi keluar relik. Tetapi setiap manusia yang dikremasi saat meninggal dan terdapat relic, belum tentu dia suci. Hal ini dapat diibaratkan, kucing adalah hewan berkaki empat, namun tidak semua hewan berkaki empat adalah kucing. Masih ada kambing, sapi, kerbau dsb.

Oleh karena itu, relik bukanlah untuk dipuja secara berlebihan. Relik dapat dijadikan motivator seseorang untuk melakukan kebajikan secara maksimal sehingga mungkin saja suatu saat setelah meninggal dan dkremasi, dalam diri sendiri akan terdapat relik. Untuk itu, perbaiki secara total perilaku hidup sehari-hari. Kerjakan hal-hal yang baik dengan badan. Kendalikan ucapan,tak usah lah menambah sesuatu yg jelek menjadi lebih jelek. Bicarakan yg baik-baik saja,yang positif saja,dan bermuditacita. Isi pola pikir dg hal2 yg baik. Itu lebih penting.

Mulai saat ini kembangkan sesuatunya dengan yang baik, sekecil-kecilnya kebajikan, jika diteruskan akan menjadi besar dan menjadi kebiasaan yang baik (habit). Karenanya mengapa dana makan dilakukan/ dipersembahkan satu per satu, tidak lain adalah untuk mengoptimalkan kebajikan dari hal-hal yg dilakukan berulang-ulang, meskipun itu kecil. Pikiran adalah PELOPOR !

Adanya relik gigi Sang Buddha, tentu sebagai bukti bahwa Sang Buddha pernah ada di dunia ini! Jadi, Puja Relik ini bisa digunakan untuk meningkatkan keyakinan kita pada Buddha ,Dhamma, Sangha.

3.Bagaimana soal kiamat 2012?
BU.M: issue itu sdh muncul berkali-kali. Umat Buddha bisa menyikapinya dengan: berbasiskan Tipitaka;
- kehidupan tdk kekal, segala sesuatu yang terbentuk, tidak kekal, jadi bumi pun pasti kiamat
Masalahnya : kpn kiamat??!!
Tanda2 kiamat menurut Tripitaka :
-setelah muncul matahari lebih dari satu, tepatnya berjumlah 7 matahari.
-ajaran Dhamma makin lama makin sedikit pengikutnya,smua makin punah,bhikkhu sudah tidak menggunakan jubah lagi dan tanda-tanda jubah makin kecil,hanya dipergelangan tangan saja (spt gelang pita) – dengan pita tersebut sudah menunjukkan kebhikkhuan seseorang, sehingga orang semakin sulit percaya pada apa yang diajarkannya.
-umur manusia makin rendah hanya sampai 10th, kemudian naik lagi sampai rata-rata 84.000th, lalu muncul Buddha Maitrea, dengan ajaran yang sama. Dapat disimpulkan, 2012 masih belum kiamat.

Tapi kalau bencana,mungkin. Karena menurut beberapa penyelidikan, tahun 2012 akan terjadi badai di matahari. Ini bisa mengganggu iklim di bumi. Jadi yg datang itu bukan Ki-Amat , tapi Nyi-Amat !! (jokes Bhante)


Nb: Ringkasan ini di tulis oleh Sdri Lie Fang ( officer BUC dari Bali ) yang sengaja datang dari Bali untuk membantu tugas kepanitiaan BUC di acara Puja Relik tersebut. Anumodana atas bantuan dan ringkasannya ini. Ringkasannya sangat bermanfaat bagi teman-teman anggota BUC lainnya yang tidak bisa menghadiri acara tersebut.


11 November 2009

Daftar Domain Gratis

1. Klik disini.

2. Tulis nama domain yang anda inginkan.





3. Cek ketersediaan nama domain tersebut dengan cara klik Check availability, bila tidak tersedia cari nama domain yang lain. Bila nama tersedia lanjutkan ke Continue to registration.








4. Isi formulir pendaftaran dengan lengkap kemudian ceklis pada I accept the terms of service, kemudian klik Create an account now.








5. Atur (setup) domain dengan cara masuk ke menu Manage Domain, klik Set up dan memasukkan nama server dimana kita akan meletakkan domain tersebut kemudian klik Set up

09 November 2009

Para Bodhisattva Membantu Kita Menemukan Soulmate

Bagi pasangan kekasih yang saling mencintai dengan tulus dan setia, maka para Bodhisattva tidak segan-segan untuk membantu mereka. Bahkan seseorang yang bajik akan dibantu oleh para Bodhisattva untuk mendapatkan pasangan hidup yang sesuai untuknya, yang dicintainya dari dalam hatinya sendiri. Kisah Bodhisattva membantu sepasang kekasih dapat dilihat dalam Shrngabheri Avadana:

Kisah Shrngabheri Avadana ini diceritakan oleh Sang Buddha Shakyamuni kepada Bhiksu Sariputra di Gunung Grdhakuta, Rajagriha. Pada suatu masa yang lama, hiduplah seorang raja bernama Simhaketu yang berkuasa di kota Shashipattana. Hobinya adalah berburu hewan dan ia telah membunuh banyak sekali burung-burung maupun hewan-hewan liar lainnya. Suatu ketika istrinya, Ratu Suraksani, menasehatinya agar menghentikan perbuatan buruknya tersebut, karena akusala karma dari pembunuhan makhluk hidup akan mengakibatkan penderitaan di kehidupan-kehidupan selanjutnya. Ratu Suraksani menasehati sang raja agar berlindung pada Triratna, menghormati caitya, dan serta menyokong para bhiksu, brahmana dan acarya. Namun sang raja tidak mau mendengarnya dan sang ratu tidak dapat menghentikan perbuatan buruk suaminya tersebut.

Pada suatu waktu sang raja meninggal dan ratu Suraksani sangat sedih atas kematiannya sehingga ia membakar diri sendiri (ritual sati yang umum di India). Perbuatan buruk karena suka membunuhi hewan menyebabkan sang raja terjerumus ke alam neraka dan setelah itu terlahir kembali menjadi seekor kerbau di kota Sashipattana juga. Namun istrinya, yang oleh karena perbuatan bajiknya, terlahir kembali sebagai putri keluarga Brahmana di kota Shashipa ttana juga. Anak gadis tersebut diberi nama Rupavati karena ia sangat cantik. Ayahnya memberikannya tugas untuk merawat seekor kerbau di hutan. Setiap hari Rupavati merawat dan sangat memperhatikan kerbau tersebut. Karena Rupavati sangat cantik, banyak orang yang ingin melamarnya. Lalu orang tuanya bertanya pada Rupavati apakah ia ingin menikah. Rupavati dengan tegas mengatakan bahwa ia tidak akan dan tidak mau menikah.

Suatu hari Rupavati pergi ke hutan seperti biasanya, ketika ia sedang menikmati keindahan hutan, seorang Bodhisattva bernama Suparaga turun dari angkasa dengan tubuh yang sangat gemilang. Sang Bodhisattva memberitahunya bahwa kerbau yang dirawat olehnya sebenarnya adalah suami Rupavati di kehidupan lampau. Bodhisattva Suparaga mengatakan bahwa apabila Rupavati ingin agar suaminya terlahir di alam bahagia, maka kumpulkanlah sisa-sisa jasad kerbau tersebut setelah kerbau tersebut dibunuh dan dimakan, kemudian simpanlah sisa jasad tersebut dalam satu caitya pasir. Dua tanduk kerbau dapat digunakan sebagai wadah air persembahan dan terompet. Setelah itu Sang Bodhisattva menghilang.

Rupavati yang ingat akan kehidupan lampaunya menjadi semakin perhatian pada kerbau tersebut dan memberinya makan rumput-rumput yang bernutrisi. Suatu hari seperti biasanya Rupavati duduk dibawah pohon selagi merawat kerbaunya. Setelah memakan rumput, kerbau tersebut pergi minum air di sebuah sungai. Namun tiba-tiba macan dan singa menerkam kerbau
tersebut dan menyiksanya sampai mati. Beruang dan burung bangkai juga memakan dagingnya,
meninggalkan hanya tulang-tulang dan dua tanduk.

Pada waktu yang sama, Rupavati mendengar suara aneh yang ditimbulkan oleh kerbau dan kerbau tersebut ternyata tidak kembali setelah minum air seperti biasanya. Ia ketakutan. Mencari kerbaunya di sungai namun tidak menemukannya, namun ia melihat tulang-tulang hewan dan dua tanduk. Rupavati kemudian menangis sedih melihat kerbau tersebut meninggal. Orang tuanya yang melihat hal tersebut ingin membelikan kerbau yang lain untuknya, namun Rupavati tidak ingin mendapatkan kerbua baru, karena tidak ada kerbau yang dapat menggantikan kerbau miliknya yang telah mati.

Kemudian Rupavati melaksanakan seperti apa yang dikatakan Bodhisattva Suparaga dan melakukan pancopacara puja. Ia memuja caitya tersebut setiap hari. Suatu hari, ketika ia memuja caitya tersebut, muncul sebuah caitya permata di angkasa, ia terkejut dan beranjali menatap angkasa dengan penuh devosi. Caitya dari langit tersebut turun ke bumi dan menyatu dengan caitya pasir tempat di mana tulang-tulang kerbau tersebut dikumpulkan. Caitya pasir tersebut terserap ke dalam caitya permata.

Dari tanduk kerbau yang digunakan untuk ditipu, muncul pri a muda. Rupavati terkejut dan bertnaya siapa dia. Pria muda tersebut berkata padanya : “Bagaimana mungkin engkau tidak mengenalku, o perempuan yang berkeyakinan! Engkau telah membebaskan suamimu melalui kesetiaan pernikahanmu dan tindakan berdana yang bajik. O Rupavati! Aku telah dapat keluar dari tanduk, terbebas hari ini. Ini semua karena akumulasi ‘punya’ [kebajikan] yang dilakukan olehmu. Apakah kamu tidak tahu bahwa di kehidupan lampau kita, aku adalah raja kota ini dan engkau adalah ratuku Suraksani? Meskipun engkau berusaha untuk mencegahku pergi ke hutan berburu burung dan hewan, aku tetap melakukan tindakan perburuan tersebut. Sebagai akibat dari perbuatan jahat tersebut, aku terjerumus dalam neraka, mengalami penderitaan yang amat besar. Akhirnya aku terlahir kembali menjadi seekor kerbau. Sekarang aku terbebaskan oleh karena pemujaan caitya-mu yang penuh kebajikan diiringi dengan suara terompet tanduk kerbau.

Setelah mendengar ini, Rupavati berkata: “Oh! Betapa beruntungnya aku! Sebagai akibat dari tindakan bajik dari pemujaan caitya ini, aku dapat mengakhiri perpisahan dan bergabung kembali dengan suamiku.” Sang pria muda kemudian melafalkan nama Bodhisattva Tara sambil meniup tanduk kerbau. Seluruh isi kota mendengarnya dan melihat Rupavati duduk di samping pria yang tampan.. Rupavati kemudian bercerita kepada mereka kejadian yang dialaminya. Pria muda yang muncul dari tanduk kerbau tersebut diberi nama Bhadra Shrnga dan naik takhta menjadi seorang raja. Raja Bhadra Shrnga dan Ratu Rupavati kemudian memerintah kota Shashipattana dengan bahagia.

Cinta antara Pria dan Wanita = Lobha?

Apakah memang ada yang namanya cinta kasih agung antara pria dan wanita? Bukankah selama ini kita mengetahui bahwa cinta antara jenis kelamin yang berbeda itu merupakan lobha (keserakahan) dan raga (nafsu jasmani)?

Ketika dalam masyarakat barat dikenal dua macam cinta, eros dan agape. Mereka berusaha untuk menanamkan kedua jenis cinta tersebut pada kekasih mereka. Demikian juga dalam agama Buddha, cinta antara sepasang kekasih tidak semata-mata dipandang sebagai sebuah bentuk lobha, namun di balik itu juga ada maitri (metta) karuna.

Tidaklah berlebihan apabila Nakulapita dan Nakulamata yang merupakan dua orang suami istri yang telah mencapai tingkat kesucian Sotapanna, menginginkan untuk terus dapat hidup bersama baik di kehidupan sekarang maupun di kehidupan yang akan datang. Maka dari itu Sang Buddha berkata pada mereka:
Bila keduanya memiliki keyakinan (saddha) dan kedermawanan, memiliki pengendalian diri (sila), menjalani kehidupan yang benar, mereka datang bersama sebagai suami dan istri, penuh cinta kasih satu sama lain. Banyak berkah datang kepada mereka, mereka hidup bersama di dalam kebahagiaan, musuh-musuh mereka dibiarkan merana, bila keduanya setara moralitasnya. Setelah hidup sesuai Dhamma di dunia ini, setara dalam moralitas dan ketaatan, mereka bersuka cita di alam dewa setelah kematian, menikmati kebahagiaan yang melimpah.”
(Anguttara Nikaya IV, 55)

Dalam Buku Abhidhamma dalam kehidupan Sehari-hari dijelaskan bahwa cinta yang muncul di antara Sumedha dan Sumitta, antara Nakulapita dan Nakulamata, tidak semata-mata merupakan lobha. Cinta yang tumbuh di antara mereka merupakan aspirasi / harapan postif (kusala-chanda / samma chanda) sekaligus lobha (tanha chanda). Jadi lobha di sini digunakan sebagai kendaraan untuk sesuatu yang positif, berkat kekuatan kusala-chanda. Sang Buddha dalam Shurangama Sutra berkata: “Engkau mencintai pikiranku (sifatku), aku mencintai ketampanan / kecantikanmu.” Oleh karena sebab-sebab dan kondisi tersebut kita melalui ratusan ribu kalpa dalam keterikatan mutual yang terus menerus.” . Ini seperti kata-kata “Aku mencintaimu, engkau mencintaiku”.

Kekuatan lobha yang membuat seseorang terus bersama-sama, sangat terikat di berbagai kelahiran. Namun apabila lobha tersebut diberengi dengan kusala-chanda, maka kusala chanda akan membuat lobha – keterikatan – menjadi sarana pembantu kita mencapai Pencerahan Tertinggi, Samyaksambodhi, seperti Pangeran Siddharta dan Yasodhara dalam kehidupan mereka yang berulang kali selama 4 asamkhyeya kalpa. Efek negatif dari lobha, diubah menjadi sesuatu yang positif oleh kekuatan kusala-chanda.

Dharma Sang Buddha dapat memberikan pada kita kebahagiaan duniawi maupun kebahagiaan yang bukan duniawi. Keberhasilan dalam kehidupan pernikahan merupakan salah satu kebahagiaan duniawi yang ditawarkan dalam ajaran Sang Buddha. Sebuah kebahagiaan duniawi yang dapat digunakan dengan benar, akan dapat membawa pada kedua pasangan pada Pencerahan Sejati, seperti Sumedha dan Sumitta.

Hubungan pasangan yang berhasil adalah hubungan yang saling menumbuhkan kebaikan hati, keterbukaan hati, dan kecerahan masing-masing pasangan, seperti Bodhisattva Siddharta dan Yasodhara. Tidak mungkin bagi Bodhisattva untuk berjuang sendirian menjadi seorang Samyaksambuddha. Ia harus ditemani oleh seorang, seorang kalyanamitra, seorang yang mampu menyokongnya di saat senang maupun susah. Memberikan kasih sayang, setia dan memiliki sifat-sifat agung yang setara dengan Sang Bodhisattva sendiri. Rasa cinta yang tumbuh antara Bodhisattva dengan pasangannya mampu membawa pada akhir yang membahagiakan – happy ending, begitulah – karena akhirnya Bodhisattva mencapai Samyaksambuddha di Bhadrakalpa ini, Yasodhara pun menjadi seorang bhiksuni yang paling unggul dalam abhijna, yaitu bhiksuni Bhaddakaccana, yang diramalkan oleh Sang Buddha bahwa kelak ia akan menjadi seorang Samyaksambuddha bernama Rasmisatasahasraparipurnadhvaja. Maka dari itu tidaklah berlebihan apabila Bhiksu Nichiren Shonin berkata: ”Jika di antara kalian berdua (suami-istri) menyerah di pertengahan jalan, maka kalian berdua akan gagal mencapai ke-Buddhaan. Kalian adalah seperti dua sayap dari seekor burung dan dua mata dari satu orang. Dan istri kalian adalah pendukung kalian. Perempuan menyokong suaminya dan menyebabkan suaminya juga menyokongnya. Ketika seorang suami berbahagia, maka istrinya juga akan berbahagia. Ketika seorang suami adalah seorang pencuri, maka istrinya juga akan menjadi pencuri. Ini tidak berkenaan dengan hidup kali ini saja. Seorang suami dan istri adalah sangat dekat bagaikan bentuk dan bayangan, bunga dan buah, atau akar dan daun, di semua kehidupan.” (Writings of Nichiren Daishonin-1, 501)

Dalam Avadanakalpalata, dikisahkan ada seorang pemuda tampan, cakap dan kuat bernama Hastaka. Suatu hari, Hastaka jatuh cinta pada putri Raja Prasenajit yang bernama Civara. Demi meminang dan mendapatkan pujaan hatinya, Civara, Hastaka berusaha untuk menjadi orang kepercayaan sang raja dan bahkan menunggang gajah emas pergi ke istana. Sang raja menyetujui pernikahan mereka dan Civara sangat bergembira di hari pertunangannya. Setelah menikah, sang raja mengadakan pertemuan dengan Sang Buddha di Hutan Jeta dan bertanya karma apa yang membuat Hastaka dan Civara dapat bersama-sama pada kehidupan kali ini. Sang Buddha kemudian menceritakan pada mereka bahwa ketika Buddha Vipasyin berjalan menuju Sravasti bersama-sama dengan Sanghanya. Saat itu ada sepasang anak laki-laki dan perempuan sedang bermain-main dengan gajah kayunya di pinggir jalan. Kedua anak tersebut kemudian mempersembahkan gajah kayunya kepada Buddha Vipasyin. Saat itu, si anak laki-laki tersebut bertekad bahwa kelak di kelahiran-kelahiran berikutnya ia akan menikahi temanbermainnya dan mengendarai seekor gajah emas. Anak laki-laki tersebut adalah Hastaka, sedangkan Civara adalah anak perempuan pada kala itu. Sebuah tekad yang sederhana, namun dilakukan dengan sepenuh hati, dengan didukung kekuatan karma, dapat membawa sepasang kekasih untuk terus bersama di berbagai kehidupan. Cinta antara pasangan yang saling mengasihi adalah sebesar kekuatan cinta yang ditimbulkan oleh kebajikan Sang Bodhisattva, yang mampu membuat bumi bergetar: “Bumi mengetahui tiadanya keterikatan pada diri Bodhisattva, bahkan terhadap tubuhnya sendiri, bergetar dengan perasaan cinta bagaikan seorang istri terhadap suaminya.” (Shibi Jataka, Jatakamala)

Awal Perjalanan Cinta Sang Bodhisattva

Seorang gadis berkata pada brahmana Sumati:
“Namun aku akan memberikanmu bunga teratai ini dengan satu kondisi:
jika kamu, pada waktu engkau mempersembahkan bunga teratai
tersebut pada Sang Buddha, buatlah harapan yang sungguh-sungguh untuk mendapatkanku
sebagai istrimu di berbagai kehidupan, [yaitu dengan] berkata,
‘Semoga ia menjadi istriku dalam keberadaan yang berulang.” (Divyavadana)

Bagaimanakah cinta kasih agung Pangeran Siddharta dan Yasodhara pada awalnya terjalin?
Dimasa lampau ketika mereka terlahir sebagai Sumedha (Megha/ Sumati /Nayatikrama) dan
Sumitta (Prakriti /Susvada) semasa Buddha Dipankara masih hidup. Ketika perempuan Sumitta
bertemu dengan petapa Sumedha, ia mengucapkan sebuah tekad:
“Yang mulia petapa, selama waktu yang akan engkau jalani dalam mencapai Kebuddhaan;
semoga aku dapat selalu menjadi pendampingmu.”
Sumedha bertemu dengan Sumitta yang ketika itu datang membawa lima tangkai bunga teratai.
Ketika pertama kali bertemu, mereka berdua sudah jatuh cinta pada pandangan pertama.
Petapa Sumedha kemudian bercakap-cakap dengan Sumitta:
Megha [Sumedha] bertanya pada Prakriti [Sumitta]:
“Berapakah harga untuk teratai-teratai tersebut, nona?”
Ia menjawab:
“Aku membeli kelima teratai tersebut seharga 500 koin emas
[purana] dan dua yang lain aku dapatkan dari seorang teman.”
Lalu sang brahmana muda, Megha, berkata padanya:
“Aku akan memberikan padamu 500 purana untuk lima tangkai teratai.
Dengan teratai tersebut aku akan menghormat pada Bhagavan Dipamkara dan engkau dapat
menghormati-Nya dengan dua tangkai lainnya.”
Prakriti menjawabnya dan berkata:
“Aku akan memberikanmu lima tangkai teratai ini dengan satu kondisi yaitu engkau akan mengambilku sebagai istrimu dan engkau akan menjadi suamiku.”
Brahmana muda Megha menjawab:
“Aku berusaha untuk melatih pikiran mencapai Anuttara Samyaksambodhi. Bagaimana kemudian aku berpikir tentang pernikahan?”
Prakriti menjawab, “Berusahalah dan capailah pikiran tersebut.
Aku tidak akan menghalangimu.”
(Mahavastu Avadana)

Love and Buddhism

Oleh: Hendrick
[Up. Vimala Dhammo / Up.Yeshe Lhagud]
rigsden_gandalf@yahoo.com

“Hidup bersama-sama di kehidupan lalu dan karena kebajikan dalam kehidupan kali ini, cinta lahir bagaikan teratai di atas air. Dengan hidup bersama, dengan pandangan, dengan senyuman, cinta lahir di antara pria dan wanita. Ketika cinta masuk ke dalam pikiran maka hati menjadi gembira.”Manusia yang paham akan yakin, berkata, “Ia berbahagia denganku di masa lampau”. Sejakwaktu yang lama dalam berbagai kelahiran yang berulang-ulang, sebanyak 1000 koti kelahiran,mereka berdua berhubungan bersama-sama sebagai istri dan suami.
(Sang Buddha, Mahavastu Avadana)

Begitulah kutipan kata-kata Sang Bhagava yang diucapkan oleh Pangeran Sudhanu / Sudhana (kelahiran lampau Pangeran Siddharta) kepada Kinnari Manohara (kelahiran lampau Yasodhara) untuk mengungkapkan rasa cintanya. Uniknya syair kata-kata tersebut juga diutarakan oleh wanita bernama Syama (kelahiran lampau Yasodhara) kepada seorang pedagang yang merupakan kelahiran lampau Pangeran Siddharta. Lantunan syair tersebut juga tertulis dalam kitab Nalini Jataka, untuk mendeskripsikan cinta antara Ekasringa (kelahiran lampau Pangeran Siddharta) dengan Nalini (kelahiran lampau Yasodhara).
Di kitab Tipitaka Pali, kita melihat Sang Buddha juga membabarkan kalimat di atas dalam Saketa Jataka, ketika ia ditanyai oleh siswa-Nya tentang sebab dari munculnya perasaan cinta di antara pria dan wanita, mengingat ada seorang brahmana bernama Buddhapita [ayah Buddha] dan istrinya, Buddhamata [ibu Buddha], yang terus bersama-sama berpasangan sebagai suami istri sebanyak 1500 kali kelahiran lampau mereka. Sebanyak 500 kali kelahiran mereka menjadi kedua orang tua Sang Bodhisatta, 500 kali sebagai paman dan bibi Sang Bodhisatta dan 500 kali kelahiran menjadi kakek nenek Sang Bodhisatta. Masih sebagai umat awam, mereka berdua mencapai tingkatan Arahat di bawah bimbingan Sang Buddha sendiri sehingga akhirnya mencapai Parinibbana.
Lalu selama 4 asamkhyeya kalpa serta 100.000 kali perputaran dunia [mahakalpa] dan selama 500 kelahiran pula, Sang Bodhisatta Pangeran Siddharta dan Yasodhara bersama-sama mengarungi samsara demi menyempurnakan paramita. Selama 500 kelahiran pula mereka saling mengasihi, menyokong dan mencintai satu sama lain. Cinta mereka tidak ada bandingannya di dunia ini. Sulit sekali untuk suami istri terus bersama-sama di berbagai kelahiran, namun berkat kekuatan tekad Sang Bodhisattva dan pasangannya, mereka berdua tidak terpisahkan walaupun harus menerjang ombak samsara yang sangat ganas.

Sutta tentang Cinta, Seks, dan Pernikahan

“Hidup bersama-sama di kehidupan lalu dan
karena kebajikan dalam kehidupan kali ini, cinta
lahir bagaikan teratai di atas air.
Dengan hidup bersama, dengan pandangan,
dengan senyuman, cinta lahir di antara pria dan
wanita. Ketika cinta masuk ke dalam pikiran
maka hati menjadi gembira.”

(Sang Buddha, Mahavastu Avadana)

Popular Posts