Ngaturaken ►►Namo Buddhaya Selamat Datang Welcome Sugeng Rawuh di Blog Sederhana ini_/|\_Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta

09 November 2009

Cinta antara Pria dan Wanita = Lobha?

Apakah memang ada yang namanya cinta kasih agung antara pria dan wanita? Bukankah selama ini kita mengetahui bahwa cinta antara jenis kelamin yang berbeda itu merupakan lobha (keserakahan) dan raga (nafsu jasmani)?

Ketika dalam masyarakat barat dikenal dua macam cinta, eros dan agape. Mereka berusaha untuk menanamkan kedua jenis cinta tersebut pada kekasih mereka. Demikian juga dalam agama Buddha, cinta antara sepasang kekasih tidak semata-mata dipandang sebagai sebuah bentuk lobha, namun di balik itu juga ada maitri (metta) karuna.

Tidaklah berlebihan apabila Nakulapita dan Nakulamata yang merupakan dua orang suami istri yang telah mencapai tingkat kesucian Sotapanna, menginginkan untuk terus dapat hidup bersama baik di kehidupan sekarang maupun di kehidupan yang akan datang. Maka dari itu Sang Buddha berkata pada mereka:
Bila keduanya memiliki keyakinan (saddha) dan kedermawanan, memiliki pengendalian diri (sila), menjalani kehidupan yang benar, mereka datang bersama sebagai suami dan istri, penuh cinta kasih satu sama lain. Banyak berkah datang kepada mereka, mereka hidup bersama di dalam kebahagiaan, musuh-musuh mereka dibiarkan merana, bila keduanya setara moralitasnya. Setelah hidup sesuai Dhamma di dunia ini, setara dalam moralitas dan ketaatan, mereka bersuka cita di alam dewa setelah kematian, menikmati kebahagiaan yang melimpah.”
(Anguttara Nikaya IV, 55)

Dalam Buku Abhidhamma dalam kehidupan Sehari-hari dijelaskan bahwa cinta yang muncul di antara Sumedha dan Sumitta, antara Nakulapita dan Nakulamata, tidak semata-mata merupakan lobha. Cinta yang tumbuh di antara mereka merupakan aspirasi / harapan postif (kusala-chanda / samma chanda) sekaligus lobha (tanha chanda). Jadi lobha di sini digunakan sebagai kendaraan untuk sesuatu yang positif, berkat kekuatan kusala-chanda. Sang Buddha dalam Shurangama Sutra berkata: “Engkau mencintai pikiranku (sifatku), aku mencintai ketampanan / kecantikanmu.” Oleh karena sebab-sebab dan kondisi tersebut kita melalui ratusan ribu kalpa dalam keterikatan mutual yang terus menerus.” . Ini seperti kata-kata “Aku mencintaimu, engkau mencintaiku”.

Kekuatan lobha yang membuat seseorang terus bersama-sama, sangat terikat di berbagai kelahiran. Namun apabila lobha tersebut diberengi dengan kusala-chanda, maka kusala chanda akan membuat lobha – keterikatan – menjadi sarana pembantu kita mencapai Pencerahan Tertinggi, Samyaksambodhi, seperti Pangeran Siddharta dan Yasodhara dalam kehidupan mereka yang berulang kali selama 4 asamkhyeya kalpa. Efek negatif dari lobha, diubah menjadi sesuatu yang positif oleh kekuatan kusala-chanda.

Dharma Sang Buddha dapat memberikan pada kita kebahagiaan duniawi maupun kebahagiaan yang bukan duniawi. Keberhasilan dalam kehidupan pernikahan merupakan salah satu kebahagiaan duniawi yang ditawarkan dalam ajaran Sang Buddha. Sebuah kebahagiaan duniawi yang dapat digunakan dengan benar, akan dapat membawa pada kedua pasangan pada Pencerahan Sejati, seperti Sumedha dan Sumitta.

Hubungan pasangan yang berhasil adalah hubungan yang saling menumbuhkan kebaikan hati, keterbukaan hati, dan kecerahan masing-masing pasangan, seperti Bodhisattva Siddharta dan Yasodhara. Tidak mungkin bagi Bodhisattva untuk berjuang sendirian menjadi seorang Samyaksambuddha. Ia harus ditemani oleh seorang, seorang kalyanamitra, seorang yang mampu menyokongnya di saat senang maupun susah. Memberikan kasih sayang, setia dan memiliki sifat-sifat agung yang setara dengan Sang Bodhisattva sendiri. Rasa cinta yang tumbuh antara Bodhisattva dengan pasangannya mampu membawa pada akhir yang membahagiakan – happy ending, begitulah – karena akhirnya Bodhisattva mencapai Samyaksambuddha di Bhadrakalpa ini, Yasodhara pun menjadi seorang bhiksuni yang paling unggul dalam abhijna, yaitu bhiksuni Bhaddakaccana, yang diramalkan oleh Sang Buddha bahwa kelak ia akan menjadi seorang Samyaksambuddha bernama Rasmisatasahasraparipurnadhvaja. Maka dari itu tidaklah berlebihan apabila Bhiksu Nichiren Shonin berkata: ”Jika di antara kalian berdua (suami-istri) menyerah di pertengahan jalan, maka kalian berdua akan gagal mencapai ke-Buddhaan. Kalian adalah seperti dua sayap dari seekor burung dan dua mata dari satu orang. Dan istri kalian adalah pendukung kalian. Perempuan menyokong suaminya dan menyebabkan suaminya juga menyokongnya. Ketika seorang suami berbahagia, maka istrinya juga akan berbahagia. Ketika seorang suami adalah seorang pencuri, maka istrinya juga akan menjadi pencuri. Ini tidak berkenaan dengan hidup kali ini saja. Seorang suami dan istri adalah sangat dekat bagaikan bentuk dan bayangan, bunga dan buah, atau akar dan daun, di semua kehidupan.” (Writings of Nichiren Daishonin-1, 501)

Dalam Avadanakalpalata, dikisahkan ada seorang pemuda tampan, cakap dan kuat bernama Hastaka. Suatu hari, Hastaka jatuh cinta pada putri Raja Prasenajit yang bernama Civara. Demi meminang dan mendapatkan pujaan hatinya, Civara, Hastaka berusaha untuk menjadi orang kepercayaan sang raja dan bahkan menunggang gajah emas pergi ke istana. Sang raja menyetujui pernikahan mereka dan Civara sangat bergembira di hari pertunangannya. Setelah menikah, sang raja mengadakan pertemuan dengan Sang Buddha di Hutan Jeta dan bertanya karma apa yang membuat Hastaka dan Civara dapat bersama-sama pada kehidupan kali ini. Sang Buddha kemudian menceritakan pada mereka bahwa ketika Buddha Vipasyin berjalan menuju Sravasti bersama-sama dengan Sanghanya. Saat itu ada sepasang anak laki-laki dan perempuan sedang bermain-main dengan gajah kayunya di pinggir jalan. Kedua anak tersebut kemudian mempersembahkan gajah kayunya kepada Buddha Vipasyin. Saat itu, si anak laki-laki tersebut bertekad bahwa kelak di kelahiran-kelahiran berikutnya ia akan menikahi temanbermainnya dan mengendarai seekor gajah emas. Anak laki-laki tersebut adalah Hastaka, sedangkan Civara adalah anak perempuan pada kala itu. Sebuah tekad yang sederhana, namun dilakukan dengan sepenuh hati, dengan didukung kekuatan karma, dapat membawa sepasang kekasih untuk terus bersama di berbagai kehidupan. Cinta antara pasangan yang saling mengasihi adalah sebesar kekuatan cinta yang ditimbulkan oleh kebajikan Sang Bodhisattva, yang mampu membuat bumi bergetar: “Bumi mengetahui tiadanya keterikatan pada diri Bodhisattva, bahkan terhadap tubuhnya sendiri, bergetar dengan perasaan cinta bagaikan seorang istri terhadap suaminya.” (Shibi Jataka, Jatakamala)

No comments:

Popular Posts